Ada beberapa teori soal pembentukan alam semesta. Namun, yang sejauh ini paling ilmiah dan populer, dengan ragam variasinya, adalah teori ledakan besar atau Big Bang.
Konsep ini sebenarnya bisa dilacak sejak 1927. Seorang pendeta dan ilmuwan Belgia bernama George Lemaitre menyebut alam semesta dimulai sebagai sebuah atom purba besar hamil yang meledak dan mengirimkan atom-atom yang lebih kecil yang kita lihat hari ini. Gagasan semacam ini tidak mendapat banyak perhatian.
Apa bagian dari alam semesta Brainly? Alam Semesta sangat, sangat besar, terdiri dari bintang, planet, komet, nebula, asteroid, meteoroid, galaksi, supernova, katai putih, nebula planet, quasar, material antarbintang, dan lubang hitam.
Pada 1929, astronom Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta ini tidak statis dan terus mengembang. Konsep ini kemudian berkembang menjadi teori Big Bang seperti yang diusulkan oleh astronom Fred Hoyle.
Jika teori Big Bang benar, bagaimana bisa proses ini menghasilkan semua planet, bintang, dan galaksi yang kita lihat sekarang?
Pada intinya, teori Big Bang ini memaparkan bahwa semesta berasal dari satu titik maha padat dengan kekuatan gravitasi tak terkira. Titik ini kemudian 'meledak' dan terus berkembang menjadi semesta saat ini.
Masalahnya, hukum fisika tak berlaku dalam kondisi maha ekstrem pada masa awal banget pembentukan alam semesta itu. Hal ini menyulitkan para ilmuwan untuk mengetahui dengan pasti apa yang terjadi saat itu.
Relativitas umum Einstein, misalnya. Fisikawan bisa memetakan pertumbuhan semesta menggunakan teori ini, yang menghubungkan isi kosmos dengan sejarah perluasannya.
Namun, kata Paul M. Sutter, profesor riset Astrofisika di SUNY Stony Brook University dan Flatiron Institute, New York, teori ini punya kesalahan fatal.
Jika kita mengikuti relativitas umum hingga kesimpulan akhirnya, katanya, teori ini tak bisa menjelaskan pada waktu yang terbatas di masa lalu, saat alam semesta dijejalkan ke dalam satu titik padat yang tak terhingga; singularitas Big Bang.
Singularitas (kondisi hukum fisika tak berlaku, tak ada lagi kapan dan di mana) sering dibingkai sebagai "permulaan" alam semesta: Tapi itu sama sekali bukan permulaan.
Secara matematis, singularitas pada Big Bang tidak memberitahu kita bahwa alam semesta bermula dari sana. Sebaliknya, itu memberi tahu kita bahwa relativitas umum itu telah kehilangan kekuatannya untuk memprediksi dan menjelaskannya.
Sutter menyebut relativitas umum tak bisa menjelaskan gravitasi dengan kekuatan tinggi atau skala kecil, yang dikenal sebagai gravitasi kuantum. Artinya, untuk memahami sepenuhnya saat-saat awal alam semesta, kita membutuhkan teori fisika baru.
Seusai ledakan
Terlepas dari keterbatasan itu, para pakar telah memetakan bahwa alam semesta sebagian besar masih terdiri dari objek langit yang sama, baik di masa awal maupun di masa sekarang. Hanya saja, saat ini objek-objek langit tersebut jaraknya lebih berjauhan.
Sutter mencontohkannya saat alam semesta berusia 380 ribu tahun. Volumenya satu juta lebih kali lebih kecil dari ukurannya saat ini. Suhu rata-rata saat itu adalah 10 ribu kelvin atau sekitar 9.726 derajat celsius. Saking panas dan padatnya, materi menjadi plasma, yakni saat atom terkoyak menjadi proton, neutron, dan elektron.
Pada 1929, astronom Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta ini tidak statis dan terus mengembang. Konsep ini kemudian berkembang menjadi teori Big Bang seperti yang diusulkan oleh astronom Fred Hoyle.
Jika teori Big Bang benar, bagaimana bisa proses ini menghasilkan semua planet, bintang, dan galaksi yang kita lihat sekarang?
Pada intinya, teori Big Bang ini memaparkan bahwa semesta berasal dari satu titik maha padat dengan kekuatan gravitasi tak terkira. Titik ini kemudian 'meledak' dan terus berkembang menjadi semesta saat ini.
Masalahnya, hukum fisika tak berlaku dalam kondisi maha ekstrem pada masa awal banget pembentukan alam semesta itu. Hal ini menyulitkan para ilmuwan untuk mengetahui dengan pasti apa yang terjadi saat itu.
Relativitas umum Einstein, misalnya. Fisikawan bisa memetakan pertumbuhan semesta menggunakan teori ini, yang menghubungkan isi kosmos dengan sejarah perluasannya.
Namun, kata Paul M. Sutter, profesor riset Astrofisika di SUNY Stony Brook University dan Flatiron Institute, New York, teori ini punya kesalahan fatal.
Jika kita mengikuti relativitas umum hingga kesimpulan akhirnya, katanya, teori ini tak bisa menjelaskan pada waktu yang terbatas di masa lalu, saat alam semesta dijejalkan ke dalam satu titik padat yang tak terhingga; singularitas Big Bang.
Singularitas (kondisi hukum fisika tak berlaku, tak ada lagi kapan dan di mana) sering dibingkai sebagai "permulaan" alam semesta: Tapi itu sama sekali bukan permulaan.
Secara matematis, singularitas pada Big Bang tidak memberitahu kita bahwa alam semesta bermula dari sana. Sebaliknya, itu memberi tahu kita bahwa relativitas umum itu telah kehilangan kekuatannya untuk memprediksi dan menjelaskannya.
Sutter menyebut relativitas umum tak bisa menjelaskan gravitasi dengan kekuatan tinggi atau skala kecil, yang dikenal sebagai gravitasi kuantum. Artinya, untuk memahami sepenuhnya saat-saat awal alam semesta, kita membutuhkan teori fisika baru.
Seusai ledakan
Terlepas dari keterbatasan itu, para pakar telah memetakan bahwa alam semesta sebagian besar masih terdiri dari objek langit yang sama, baik di masa awal maupun di masa sekarang. Hanya saja, saat ini objek-objek langit tersebut jaraknya lebih berjauhan.
Sutter mencontohkannya saat alam semesta berusia 380 ribu tahun. Volumenya satu juta lebih kali lebih kecil dari ukurannya saat ini. Suhu rata-rata saat itu adalah 10 ribu kelvin atau sekitar 9.726 derajat celsius. Saking panas dan padatnya, materi menjadi plasma, yakni saat atom terkoyak menjadi proton, neutron, dan elektron.
1. 0 detik ledakan besar. Semua materi di alam semesta muncul dari satu titik atau singularitas yang maha padat.
2. Kurang dari satu detik setelah ledakan besar, semuanya amat samar. Sutter mengatakan manusia belum memiliki teori fisika yang bisa mengatasi kondisi sugu dan tekanan yang amat tinggi di tahap ini. Semua teori fisika runtuh, dan ilmuwan tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana partikel, gaya, dan medan bekerja dalam kondisi tersebut.
3. Sekian detik usai ledakan besar. Materi mengembang dengan kecepatan dan suhu yang sangat tinggi, berlipat ganda setiap 10-34 detik, menciptakan ruang saat mengembang dengan cepat.
Dalam sepersekian detik, gravitasi dan semua gaya lainnya terbentuk. Energi berubah menjadi partikel materi dan antimateri, yang sebagian besar saling menghancurkan. Untungnya, beberapa hal selamat.
Proton dan neutron mulai terbentuk dalam detik pertama; dalam beberapa menit proton dan neutron ini dapat berfusi dan membentuk inti hidrogen dan helium.
4. Saat alam semesta berusia belasan menit, pakar mengungkap kondisinya berupa sup proton, neutron, dan elektron yang intens, masih bisa dijangkau oleh teori fisika yang sama yang digunakan untuk memahami bom nuklir dan reaktor nuklir.
5. Saat semesta berusia beberapa puluh menit, kondisinya adalah kumpulan proton, neutron, dan elektron yang amat banyak.
Lalu, benarkah itu awal semesta sebenarnya?
Sayangnya, Fisikawan kekurangan bahan untuk mengetahuinya secara pasti.
Sutter mengungkap komunitas ilmuwan memiliki beberapa kandidat untuk mengungkap gravitasi kuantum, seperti teori dawai atau string theory milik Stephen Hawking dan teori gravitasi kuantum (loop quantum gravity). Masalahnya, teori-teori ini belum sepenuhnya dikembangkan, apalagi diuji.
Namun, jika salah satunya benar, teori di atas dapat memberi tahu kita hal-hal menarik tentang masa awal alam semesta.
Gravitasi quantum loop, misalnya, singularitas diganti dengan bongkahan ruang-waktu berukuran terbatas. Sementara itu, dalam teori dawai, alam semesta kita berasal dari "lanskap" kemungkinan alam semesta.
Sutter menyebut mungkin juga Big Bang pada semesta kita hadir hanya sebagai salah satu rangkaian alam semesta yang tak terhingga, berlipat ganda tanpa akhir dalam multisemesta (multiverse). Hanya kemajuan lebih lanjut dalam fisika teoretis yang akan membantu memilah kekeruhan dari ide-ide liar ini.
"Kita mungkin tidak pernah tahu apa yang menyebabkan Big Bang. Pada saat-saat paling awal [semesra], bahkan konsepsi kita tentang ruang dan waktu pun runtuh. Pada skala ekstrem seperti itu, konsep sehari-hari yang normal seperti 'awal mula' dan 'sebelum' bahkan mungkin tidak masuk akal," urainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar